Reaksi Masyarakat Indonesia Terhadap Kedatangan Bangsa Barat
Reaksi Para Raja Terhadap penetrasi Barat
Sedikit perlawanan terhadap Belanda
terjadi di Mataram, ketika itu pada tahun 1618 M. Sultan Agung dapat menguasai
Jawa Timur. Dan di masa pemerintahannya kontak-kontak bersenjata antara
kerajaan Mataram dengan Belanda mulai terjadi. Di lain pihak, di Banten pada
masa Abdul Fath (wafat 1651 M), terjadi beberapa kali peperangan antara Banten
dan Belanda yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659
M.
Pada saat itu terjadi empat
perlawanan terbesar dan terlama, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Perang
Paderi di Minangkabau
Gerakan Paderi yang terbentuk dengan
kedatangan tiga Haji terkenal dari Makkah pada awal abad ke 19, dipengaruhi
secara mendalam oleh sukses gerakan Wahabi di Arab pada masa itu. Setelah
takluknya Minangkabau akibat perang Paderi kebijakan Belanda mencoba menahan
pengaruh para guru agama dengan mengasingkan mereka sejauh mungkin.
Namun tak lama kemudian terjadi
peperangan antara kaum adat dan Belanda. Peperangan pertama Belanda gagal,
sehingga Belanda mengajak perdamaian melalui perjanjian pada 22 Januari 1824.
Namun Belanda mengkhianatinya. Begitu pula peperangan selanjutnya Belanda juga
gagal dan mengadakan perjanjian damai 15 September 1825, namun Belanda
mengkhianati lagi. Sesampai pada perjanjian damai yang dikenal dengan plakat
panjang, 23 Oktober 1833, kaum Paderi menolak dan tidak percaya lagi. Dan pada
16 Agustus 1837 Belanda menyerang Bonjol dan akhirnya Bonjol dapat diduduki dan
tokoh Imam Bonjol diasingkan ke Cianjur, lalu Ambon dan sampai meninggal di
Manado.
2. Perang
Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang
terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Peristiwa yang
memicu peperangan Diponegoro adalah rencana Belanda untuk membuat jalan yang
menerobos tanah milik Pangeran Diponegoro dan harus membongkar makam. Pada
tahun 1825 Pangeran Diponegoro bangkit dan berontak melawan Belanda menggunakan
taktik gerilya, dimana pasukan Belanda dikepung oleh prajurit Pangeran
Diponegoro di Yogya.
Pada tahun 1826 banyak korban
berguguran di pihak Belanda dan pihak Belanda memperkuat diri dengan membangun
benteng untuk mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1827
Pangeran Diponegoro ditawan karena beliau membangkang untuk berunding dengan
Belanda dan akhirnya tahun 1830 dibuang ke Manado, lalu tahun 1834 pindah ke
Ujung Pandang, Makasar dan meninggal dalam usia 70 tahun pada 8 Januari 1855.
3. Perang
Banjarmasin
Perang Banjarmasin yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari dilatarbelakangi oleh campur tangan Belanda dalam
menentukan siapa yang akan menjadi Raja Muda pengganti Sultan Adam Alwasik
Billah yang sudah tua. Jabatan itu diserahkan pada putranya bernama Abdurrahman
tetapi dia tidak berumur panjang. Karena itu ia memilih cucunya Pangeran Hidayat.
Tetapi Belanda tidak menyetujui pemilihan Sultan itu dan lebih berpihak kepada
Pangeran Tamjid, cucu Sultan yang dari seorang selir.
Pengangkatan Pangeran Tamjid menjadi
Sultan menimbulkan kekecewaan dikalangkan rakyat. Akibatnya timbul kericuhan di
wilayah kerajaan Banjarmasin. Dari kerajaan itu Belanda kembali memasuki
persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Ketika itulah
perang Banjarmasin dimulai, Andresen yang didatangkan dari Batavia
menyimpulkan, bahwa Sultan Tamjid sumber kericuhan. Dan akhirnya diturunkan
dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda
Pengambilalihan kekuasaan itu
mengalihkan penentangan rakyat yang semula ditujukan untuk Sultan Tamjid
menjadi kepada Belanda. Perlawanan ini dipimpin Pangeran Antasari dengan 3000
pasukan untuk menyerbu pos-pos Belanda. Awalnya pasukan Belanda banyak yang
tewas, tetapi dengan taktik dan kelicikannya Belanda berhasil mengalahkan satu
demi satu beberapa pembesar kerajaan.
4. Perang Aceh
Pada tanggal 5 April 1873 tentara
Belanda menyerang Masjid dengan 3000 personil, karena kuatnya tentara Aceh
dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Dan bulan November 1873 Belanda dengan
13.000 personil mampu menguasai masjid keraton. Setelah meninggal dunianya
Sultan (1874) Belanda berunding, tetapi tidak di tangggapi oleh Aceh, sehingga
Belanda memakai strategi menunggu. Namun terus mendapat serangan-serangan dari
Aceh yang mengakibatkan sistem itu gagal. Setelah sistem tersebut gagal,
Belanda menerapkan sistem konsentrasi, kota raja sebagai pusatnya, akan tetapi
sistem ini justru memberi peluang kepada pejuang Aceh untuk menggagalkan perang
gerilya. Yang akhirnya banyak tentara Belanda yang terbunuh.
Tahun 1890 M, Gubernur Dey Kerhof
mengajak Teuku Umar untuk berpihak kepada Belanda, akhirnya mau dan berhasil
menundukkan Mukim XXII, XXV, XXVI. Aceh besar kembali bergejolak, ketika Teuku
Umar membelot dari Belnda pada tahun 1896 dan Belanda mekukan ofensif yang
memaksa pihak Aceh melakukan defensif. Teuku Umar gugur dalam perang ini dan
digantikan Cut Nya’ Dien. Akhirnya Belanda meninggalkan Indonesia (1942 M),
karena mencoba dengan taktik menculik putra-putra Sultan, yang akhirnya Sultan
dan Panglima Polim menyerah. Namun perang terus berlanjut terhadap Belanda
walaupun perorangan maupun kelompok. Dari tahun 1903 – 1930 sering terjadi
perlawanan sengit yang dipimpin Ulama’ di Pidie Aceh Tengah dan Tenggara, Aceh
Barat dan Timur.
4 Macam Kebijakan Pemerintah
Kolonial di Indonesia Lengkap
Salah satu kebijakan VOC ialah sifatnya yang mudah
beradaptasi dengan kondisi yang ada disekitarnya. Pada tahun 1700-an, VOC
berusaha menguasai daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan.
Imperialisme pedalaman ini sasarannya kerajaan Banten dan kerajaan Mataram.
Alasannya daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras,
gula merah, kacang dan lada. Oleh karena itu, VOC menerapkan sistem
kebijakannya. Kebijakan tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Sistem Penyerahan Wajib oleh VOC
Dengan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh VOC, maka
kongsi dagang yang sering disebut dengan kompeni ini berkembang dengan cepat.
Kedudukan Portugis mulai terdesak dan bendera kompeni mulai berkibar.
Kompeni mengikat raja-raja kita dengan berbagai perjanjian
yang merugikan. Makin lama kompeni makin berubah menjadi kekuatan yang tidak
hanya berdagang, akan tetapi ikut mengendalikan pemerintahan di Indonesia.
Kompeni mempunyai pegawai dan anggota tentara yang semakin banyak. Daerah
kekuasaannya pun semakin luas.
Kompeni membutuhkan biaya besar untuk memelihara
pegawai dan tentaranya. Biaya itu diambil dari penduduk. Pada zaman kompeni
penduduk kerajaan diharuskan menyerahkan hasil bumi seperti beras, lada, kopi,
rempah-rempah dan lain sebagainya kepada VOC. Hasil bumi itu harus dikumpulkan
pada kepala desa dan untuk setiap desa ditetapkan jatah tertentu.
Kepala desa menyerahkannya
kepadabupati untuk disampaikan kepada kompeni. Tentu saja kompeni tidak
mendapatkannya secara gratis, tetapi juga memberi imbalan berupa harga hasil
bumi itu,. Tetapi harga itu ditetapkan oleh kompeni. Lagi pula, uang harga
pembelian itu tidak sampai ke tangan petani. Biasanya uang itu sudah dipotong
oleh pegawai VOC ataupun oleh kepala desa pribumi.
2. Sistem
Wajib Kerja (Kerja Rodi)
Setelah lebih kurang 200 tahun
berkuasa, akhirnya pada tanggal 31 desember 1799, VOC seara resmi dibubarkan.
Hal ini disebabkan banyak biaya perang yang dikeluarkan untuk mengatasi
perlawanan penduduk, terjadinya korupsi diantara pegawainya dan timbulnya
persaingan dengan kongsi dagang yang lain. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perubahan politi yang terjadi
di Belanda merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Dalam
revolusi tersebut, kekuasaan Raja Willem V. runtuh dan berdirilah Republik
Bataaf. Tidak lama kemudian republik Bataaf juga dibubarkan dan Belanda
dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis, sebagai rajanya adalah Louis
Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengirim Herman Willems Deandels sebagai
gubernur jenderal dengan tugas utama mempertahankan pulau jawa dari ancaman
Inggris. Juga diberi tugas mengatur pemerintahan di Indonesia. Untuk mewujudkan
langkah tersebut, deandels menerapkan sistem kerja wajib (kerja rodi).
Deandels dikenal sebagai
penguasa pemerintah yang sangat disiplin, keras dan kejam. Selain itu, akibat
tindakannya menjual tanah milik negara kepada pengusaha swasta asing, berarti
ia telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda
memanggil pulang Deandels ke negeri Belanda. Deandels berkuasa di Indonesia
pada tahun 1801-1811. Sebagai pengganti deandels adalah Janssens sebagai
gubernur jenderal di Indonesia. Janssens ternyata sangat lemah dan kurang cakap
dalam menjalankan tugasnnya, sehingga dapat dikalahkan oleh Inggris dan harus menandatangani
perjanjian di tuntang yang terkenal dengan nama kapitulasi tuntang.
3. Sistem
Sewa Tanah (Landrente)
Peristiwa Belanda menyerah
kepada Inggris melalui kapitulasi Tuntang pada tahun 1811, menjadi awal
pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Tahun 1811-1816 berada di Indonesia
dengan bawah kekuasaan Inggris. Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai
gubernur di Jawa dan bawahannya. Tujuan utama pemerintahan Raffles adalah
meningkatkan kesejahteraan rakyatr. Salah satu tindakannya yang populer adalah
mencetuskan sistem sewa tanah (landrente). Hal tersebut tidak membebani rakyat,
namun kondisi di Eropa membuat Raffles harus mengakhiri masa jabatanya di
Indonesia. Perang koalisi berakhir dengan kekalahan Prancis. Negara-negara yang
menjadi lawan Prancis mengambil keputusan bahwa sebagai benteng untuk
menghadapi Prancis, Belanda harus kuat. Maka dari itu, dalam Traktat London
tahun 1824, ditetapkan bahwa Indonesia dikembalikan kepada Belanda.
Kebijakan Deandels yang
dikenal dengan nama Contingenten digante dengan sistem sewa tanah oleh Thomas
Stamford Raffles. Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat
atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena senua tanah
dianggap milik negara.Berikut ini pokok-pokok sistem tersebut:
- Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan
- Hasil petabi dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati
- Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik tanah
Dalam pelaksanaannya, sistem
sewa tanah di Indonesia mengalami kegagalan, karena:
- Sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda
- Sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah
- terbatasnya jumlah pegawai
- Masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang
Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan
kolonial Belanda yang baru, pertama di bawah komersaris jenderal Elout, Buyskes
dan Van Der Capellen pada tahun 1816-1819 dan kemudian di bawah gubernur jenderal
Van Der Capellen pad tahun 1819-1826 dan komisaris jenderal Du Bus De Gisgnies
pada tahun 1826-1830. Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan
seorang gubernur jenderal baru, bernama Van Der Bosch pada tahun 1830 yang
kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman
dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien.
4. Sistem
Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Cultuur stelsel (harafiah:
sistem kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai sistem budaya)
yang oleh sejarawan Indonesia disebut dengan Sistem Tanam Paksa ialah peraturan
yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Der Bosch pada tahun 1830
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagaian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastilan dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintahan kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 haru dalam setahun (20%) pada kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada tahun 1830 terjadi
perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah keuangannya kerena harus
membiayai perang diponogoro dan usaha mencegah Belgia memisahkan diri.
Johannes Van Der Bosch, yang
kemudian menjadi gubernur jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan
produksi tanaman ekspor di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat meolong
keuangan Belanda. Sistem ini dinamakan cultuur stelsel yang dinamakan tanam
paksa.
Tanam paksa mencapai puncak
perkembangannya sekitar tahun 1830-1840. Pada waktu itu Belanda menikmati hasil
tanam paksa yang tertinggi. Rakyar di Belanda tidak banyak mengetahui tentang
tanam paksa di Indonesia. Karena saat itu hubungan telekomunikasi belum ada dan
surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan.
Malapetaka di Ceribon dan Demak lambat laun sampai pula terdengar di Belanda.
Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai Belanda sewenang-wenang.
Sementara itu pada tahun 1860
di Belanda terbit dua buku yang menentang tanam paksa oleh Douwes Dekker dengan
nama kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam paksa dihapus.
Kedua buku itu ialah Max
Havelaar yang dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran Murtatuli. Buku
kedua ialah Suiker Contracten (kontrak gula) ditulis ileh Frans Van De Putte.
Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsur dihapuskan.
Pada tahun 1860, tanam paksa lada dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan
teh. Tahun 1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah dihapus, kecuali kopi di
daerah priangan yang baru dihapuskan pada tahun 1917.
Reaksi Masyarakat Indonesia Terhadap Kedatangan Bangsa Barat
Reviewed by Muhammad Novri
on
10:13 PM
Rating:
No comments: